Perkembangan Sastra Era 90-an
Perkembangan Sastra Era 90-an
Angkatan 90-an
Sebetulnya pada angkatan 90 ini belum benar-benar dikatakan sebagai angkatan, namun karena banyak pengarang yang menciptakan suatu karya-karya pada tahun 90an disebutkan bahwa adanya angkatan 90 itu. Generasi 1990-an memang hanya menjadi pencatat peristiwa-peristiwa ketika fenomena “di luar” tengah diterjang badai kesemarakan beragama, sempitnya ruang artikulasi publik dan lahirnya generasi yang gamang, para penyair mengusung peristiwa “luar” itu ke dalam kamar puisinya. Maka sangat tidak mungkin menciptakan sebuah angkatan tanpa adanya perambahan estetika dari sebuah generasi yang selalu mengklaim dirinya menjaga wilayah kata-kata.
Ciri-ciri Angkatan 90
- Kecenderungan dominan dari penyairnya yaitu lebih menyodorkan unsur asketik diantara kerumunan tema-tema sosial yang menhinggapi generasi penyair 90-an
- Semakin banyak karya-karya sastra yang diterbitkan tanpa ketakutan apapun.
- Ditandai dengan banyaknya roman percintaan.
- Mulai memunculkan masalah gender.
- Mulai muncul sastrawan wanita yang menonjol.
Pengarang dan Karyanya pada Angkatan 90
No. Pengarang Karya
1. Ayu Utami
• Saman (1998) Larung (2001)
2. Jenar Mahesa Ayu
• Mereka Bilang Saya Monyet
3. Ahmadun Yosi Herfanda
• Sajak Penari (1990)
• Sebelum Tertawa Dilarang (1997)
• Fragmen-fragmen Kekalahan (1997)
• Sembahyang Rumputan (1997)
4. Hilman Hariwijaya
• Olga Sepatu Roda(1992)
• Lupus ABG - 11 novel (1995-2005)
5. Dorothea Rosa Herliany
• Matahari yang Mengalir (1990)
• Kepompong Sunyi(1993)
• Nikah Ilalang (1995)
• Mimpi Gugur Daun Zaitun (1999)
6. Gustaf Rizal
• Segi Empat Patah Sisi(1990)
• Segi Tiga Lepas Kaki(1991)
• Ben (1992)
• Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta (1999)
Adapun Kumpulan Cerpen Pada Angkatan 90 Ini Diantaranya :
1. Kado Istimewa (pilihan kompas, 1992)
2. Laki-laki yang Kawin dengan Peri (pilihan kompas, 1995)
3. Lampor (pilihan kompas, 1994)
4. Menjelang Pagi (Ratna Indraswari Ibrahim, 1994), dan lain-lain.
Pelopor Angkatan 90
Ayu Utami adalah salah satu pelopor atau tokoh yang paling populer pada angkatan 90 dengan karyanya Saman diantaranya yang memenangkan sayembara penulisanroman
dewan Kesenian Jakarta 1998.
Sedikit singkat mengenai Ayu Utami, Justina Ayu Utami (lahir di Bogor,Jawa Barat, 21 November 1968; umur 43 tahun) adalah aktivis jurnalis dan novelis Indonesia, ia besar di Jakarta dan menamatkan kuliah di Fakultas SastraUniversitas Indonesia.
Ia pernah menjadi wartawan di majalah Humor, Matra, Forum Keadilan, dan D&R. Tak lama setelah penutupanTempo, Editor dan Detik di masa Orde Baru, ia ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen yang memprotes pembredelan. Kini ia bekerja di jurnal kebudayaan Kalam dan di Teater Utan Kayu. Novelnya yang pertama, Saman, mendapatkan sambutan dari berbagai kritikus dan dianggap memberikan warna baru dalam sastra Indonesia.
Ayu dikenal sebagai novelis sejak novelnya Saman memenangi sayembara penulisan roman Dewan Kesenian Jakarta 1998. Dalam waktu tiga tahun Saman terjual 55 ribu eksemplar. Berkat Saman pula, Ayu mendapat Prince Claus Award 2000 dari Prince Claus Fund, sebuah yayasan yang bermarkas di Den Haag, yang mempunyai misi mendukung dan memajukan kegiatan di bidang budaya dan pembangunan. Akhir 2001, ia meluncurkan novel Larungnya.
Perdebatan yang Terjadi pada ngkatan 90
Pada tahun 1994, tiga media cetak ditutup Pemerintah: Tempo,Editor, dan Detik. Inilah yang merangsang insiatif untuk membangun Komunitas Utan Kayu. Maka berdirilah Institut Studi Arus Informasi (1995) dan Galeri Lontar (1996) di sebuah kompleks bekas rumah-toko di Jalan Utan Kayu 68-H Jakarta Timur. Menyusul kemudian, Teater Utan Kayu (1997).
Ketika dulu banyak perdebatan antar individu, kini perdebatan itu tertuang dalam sebuah komunitas-komunitas. Perdebatan itu sekarang milik Komunitas Utan Kayu (KUK) atau lebih khusus kepada Teater Utan Kayu (TUK) dengan Komunitas Ode Kampung (KOK).
TUK yang dihuni seniman tenar (Nirwan Dewanto, Sitok Srengenge, Goenawan Mohamad, Ayu Utami, dan Eko Endarmoko) menjadi pengendali sekaligus aset terpenting dalam keberadaan komunitas ini. Mereka menghasilkan sebuah eksklusivitas tanpa merambah sastra komunitas lain. Banyak karya sastra yang dihasilkan dari komunitas ini, dengan gaya yang begitu bebas. Memakai gaya yang dulu dianggap begitu tabu, kini dipergunakan dengan lantang dan santainya. Salah satu tokohnya, Ayu Utami, yang terlihat dalam novel Saman dan Larung. Dalam novel ini Ayu menggunakan kebebasan dalam bersastra hingga menggunakan bahasa yang vulgar. Goenawan Mohamad menganggapnya sebagai suatu risiko dalam kesusastraan Indonesia modern. Akibat yang harus ditanggung jika sastra kita ingin menuju pada tahap modern.
Perdebatan antara KUK dengan TUK-nya dan KOK dengan Boemipoetra-nya hanyalah sebagai perdebatan sastra bocah. Perdebatan yang dikeluarkan bukan bersifat membangun, tidak seperti yang dilakukan oleh tahun-tahun dulu. Ketika itu perdebatan pertama yang muncul antara STA dan Armijn Pane adalah mencakup hal dasar, yaitu dasar budaya bangsa kita: barat atau timur.
Pada majalah Recak dapat diketahui bahwa letak perdebatan ini karena ketidaksenangan Saut Situmoranng melihat Goenawan Mohamad memanfaatkan mitos baru tentang TUK yang mulai menggeser keberadaan Horizon dan TIM untuk mendominasi dunia sastra Indonesia dalam memenuhi ambisi ekstraliterer mereka. Hal tersebut dimulai dengan skandal menangnya novel Saman di Sayembara Roman Dewan Kesenian Jakarta 1998. Setelah itu penghargaan kepada Ayu Utami dari Prince Claus Award karena karyanya dianggap meluaskan batas penulisan dalam masyarakat. Dalam Saman, Ayu Utami tidak sungkan-sungkan membahas masalah seks. Tapi mungkin zamannya sudah berubah, kini masalah seks sudah bukan merupakan hal yang tabu untuk diungkapkan. Ironis, bahwa yang mengungkap secara detail dan sedikit jorok dalam novel ini adalah justru seorang wanita yaitu Ayu Utami.
SIMPULAN
Pada akhir bab ini kami pemakalah menarik kesimpulan bahwa salah satu pelopor pada angkatan 90 ini Ayu Utami dengan karyanya “Saman”. Karya-karya populer yang berkembang menunjukan adanya peningkatan kemajuan sastra dari massa pembacanya.[6]
Sebetulnya angkatan 90 ini masih diragukan apakah ini merupakan angkatan atau bukan, kerena menurut kami angkatan 90 banyak berbau dengan angkatan 2000 atau angkatan reformasi. Seperti pada angkatan-angkatan sebelumnya bahwasanya angkatan 90 ini pun penuh kebebasan ekspresi dan pemikiran dengan sastrawan wanita yang menonjol.
Selain itu, Pada masa itu ilmu sastra Indonesia tampak semakin mapan, penelitian makin merak dimana-mana, dan penerbitan pun terbilang berlimpah ruah. Karya-karya yang sulit terbit pada masa sebelumnya ternyata pada angkatan ini dapat diterbitkan tanpa ketakutan apapun.
DAFTAR PUSTAKA
Budianta, Melani dkk, Membaca Sastra, (Magelang: Indonesia Tera, 2003).
Kratz, E. Ulrich, Sejarah Sastra Indonesia Abad XX, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2000).
K.S, Yudhiyono, Pengantar Sejarah Sastra Indonesia, (Jakarta: PT. Grasindo, 2007).
Sejarah Sastra Indonesia, (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1988).
Melani Budianta, dkk, Membaca Sastra, (Magelang: Indonesia Tera, 2003), h. 15.
E. Ulrich Kratz, Sejarah Sastra Indonesia Abad XX, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2000), hal. 697.
Sejarah Sastra Indonesia, (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1988), h. 146.
Yudiono K.S., Pengantar Sejarah Sastra Indonesia, (Jakarta: PT. Grasindo, 2007), h. 53.
Yudhiyono K.S, Pengantar Sejarah Sastra Indonesia, (Jakarta: PT. Grasindo, 2007), h.248.
E. Ulrich Kratz, Sejarah Sastra Indonesia Abad XX, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2000), hal. 687.
Komentar
Posting Komentar